Tentang Kami

   Arsip Tulisan
   
Wednesday, November 28, 2007
Kalo' sama yang ini?




Baca Selengkapnya...
Posted by Al-Falah Connection @ 8:29 PM   0 comments
    Para Guru taon Lalu
Masih ingat sama semua wajah ini gak? Hayo ....




Baca Selengkapnya...
Posted by Al-Falah Connection @ 8:26 PM   1 comments
    Ketika …
Ketika semuanya telah berlalu
Ketika semuanya telah berakhir
Ketika semuanya hanya menjadi catatan sejarah
Ketika semuanya hanya menjadi kenangan
Kita tersadar bahwa semua hanya khayalan
Khayalan sebuah keinginan akan keterbatasan
Keterbatasan sebagai insan
Insan yang selalu mendambakan keindahan

Sayang…..
Hari esok lebih panjang
Hari esok lebih menggembirakan
Hari esok lebih mempesonakan
Dan tentunya hari esok yang lebih mempunyai kenikmatan yang dalam
Sayang…
Ingatkah kau tentang hikmah perjalanan perjuangan
Ingatkah kau tentang bagaimana kita dimainkan perasaan
Ingatkah kau bahwa kita telah bergelut dengan khayalan-hayalan masa depan
Ingatkah kau tentang kenikmatan yang kita rasakan hanya sebatas nafsu anak zaman
Aku telah ajarkan tentang bagaimana mencapai impian
Aku telah ajarkan bagaimana sang bijak mengambil keputusan
Aku telah ajarkan tentang makna kehidupan
Aku telah ajarkan tentang kemudian setelah kehidupan
Sangat munafiq kalau kita menjawab tantangan dengan alasan
Sangat kerdil kalau kita selalau bermahkotakan keterbatasan
Sangat cengeng kalau kita hadapai perpisahan dengan tangisan yang tidak berkesudahan
Sangat bodoh kalau kau tidak punya harapan masa depan
Ia …
kalau kemarin adalah keindahan
Kalau kemarin kebahagiaan
Kalau kemarin kenikmatan
Tetepi perlu di ingat bahwa yang kemarin adalah sebuah catatan kenangan
Aku pingin kita bisa menjadi orang besar yang selalu melakukan kebijaksanaan
Aku pingin kita bisa menjadi orang hebat dengan tulisan-tulisan
Aku pingin kita bisa menjadi orang dengan penuh kebajikan
Dan aku sangat pingin kita menjadi orang yang bisa menjawab segala pertanyaan alam dengan senyuman…
Dan aku yakin kita bisa menangkan pertarungan-pertarungan
Itulah beberapa alasan kenapa harus kita putuskan persoalan-persoalan perasaan….
Kau akan menjadi matahari di waktu siang dan rembulan di waktu malam
Dengan coretan-coretan tangan kita akan tunjukkan sejarah anak zaman
Untuk wujudkan dunia yang penuh kasih sayang dan peradaban yang penuh kedamaian dengan perbedaan-perbedaan yang selama ini masih membuahkan peperangan…

Makhrus
Baca Selengkapnya...
Posted by Al-Falah Connection @ 8:24 PM   0 comments
    Pemanasan Global ”Tragedi Peradaban
(Refleksi Konferensi Perubahan Iklim /COP-13 di Bali, 3-14 Desember 2007)

Oleh : Makhrus Habibi

Konferensi Perubahan Iklim bulan Desember di Bali salah satu agendanya adalah Pengurangan emisi dari deforestasi, Pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim (Climate Change) belum menjadi mengedepan dalam kesadaran multi pihak. Pemanasan global (Global Warming) telah menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia, terutama negara yang mengalami industrialisasi dan pola konsumsi tinggi (gaya hidup konsumtif). Tidak banyak memang yang memahami dan concern pada isu perubahan iklim. Sebab banyak yang mengatakan, memang dampak lingkungan itu biasanya terjadi secara akumulatif. Pada titik inilah masalah lingkungan sering dianggap tidak penting oleh banyak kalangan, utamanya penerima mandat kekuasaan dalam membuat kebijakan.

Perubahan iklim akibat pemanasan global (global warming), pemicu utamanya adalah meningkatnya emisi karbon, akibat penggunaan enerji fosil (bahan bakar minyak, batubara dan sejenisnya, yang tidak dapat diperbarui). Penghasil terbesarnya adalah negeri-negeri industri seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Canada, Jepang, China, dll. Ini diakibatkan oleh pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat negera-negar utara yang 10 kali lipat lebih tinggi dari penduduk negara selatan. Untuk negara-negara berkembang meski tidak besar, ikut juga berkontribusi dengan skenario pembangunan yang mengacu pada pertumbuhan. Memacu industrilisme dan meningkatnya pola konsumsi tentunya, meski tak setinggi negara utara. Industri penghasil karbon terbesar di negeri berkembang seperti Indonesia adalah perusahaan tambang (migas, batubara dan yang terutama berbahan baku fosil). Selain kerusakan hutan Indonesia yang tahun ini tercatat pada rekor dunia ”guinnes record of book” sebagai negara tercepat yang rusak hutannya.

Menurut temuan Intergovermental Panel and Climate Change (IPCC). Sebuah lembaga panel internasional yang beranggotakan lebih dari 100 negara di seluruh dunia. Sebuah lembaga dibawah PBB, tetapi kuasanya melebihi PBB. Menyatakan pada tahun 2005 terjadi peningkatan suhu di dunia 0,6-0,70 sedangkan di Asia lebih tinggi, yaitu 10. selanjutnya adalah ketersediaan air di negeri-negeri tropis berkurang 10-30 persen dan melelehnya Gleser (gunung Es) di Himalaya dan Kutub Selatan. Secara general yang juga dirasakan oleh seluruh dunia saat ini adalah makin panjangnya musim panas dan makin pendeknya musim hujan, selain itu makin maraknya badai dan banjir di kota-kota besar (el nino) di seluruh dunia. Serta meningkatnya cuaca secara ekstrem, yang tentunya sangat dirasakan di negara-negara tropis. Jika ini kita kaitkan dengan wilayah Indonesia tentu sangat terasa, begitu juga dengan kota-kota yang dulunya dikenal sejuk dan dingin makin hari makin panas saja. Contohnya di Jawa Timur bisa kita rasakan adalah Kota Malang, Kota Batu, Kawasan Prigen Pasuruan di Lereng Gunung Welirang dan sekitarnya, juga kawasan kaki gunung Semeru. Atau kota-kota lain seperti Bogor Jawa Barat, Ruteng Nusa Tenggara, adalah daerah yang dulunya dikenal dingin tetapi sekarang tidak lagi.

Meningkatnya suhu ini, ternyata telah menimbulkan makin banyaknya wabah penyakit endemik “lama dan baru” yang merata dan terus bermunculan; seperti leptospirosis, demam berdarah, diare, malaria. Padahal penyakit-penyakit seperti malaria, demam berdarah dan diare adalah penyakit lama yang seharusnya sudah lewat dan mampu ditangani dan kini telah mengakibatkan ribuan orang terinfeksi dan meninggal. Selain ancaman ratusan Desa di pesisir Jatim yang bisa tenggelam akibat naiknya permukaan air laut, indikatornya serasa makin dekat saja jika kita tengok naiknya gelombang pasang di minggu ketiga bulan mei 2007 kemarin. Mulai dari pantai Kenjeran, pantai popoh Tulungagung, Ngeliyep Malang dan pantai lain di pulau-pulau Indonesia.

Untuk negara-negara lain meningkatnya permukaan air laut bisa dilihat dengan makin tingginya ombak di pantai-pantai Asia dan Afrika. Apalagi hal itu di tambah dengan melelehnya gleser di gunung Himalaya Tibet dan di kutub utara. Di sinyalir oleh IPCC hal ini berkontribusi langsung meningkatkan permukaan air laut setinggi 4-6 meter. Dan jika benar-benar meleleh semuanya maka akan meningkatkan permukaan air laut setinggi 7 M pada tahun 2012. Dan pada 30 tahun kedepan tentu ini bisa mengancam kehidupan pesisir dan kelangkaan pangan yang luar biasa, akibat berubahnya iklim yang sudah bisa kita rasakan sekarang dengan musim hujan yang makin pendek sementara kemarau semakin panjang. Hingga gagal panen selain soal hama, tetapi akibat kekuarangan air di tanaman para ibu-bapak petani banyak yang gagal.

Situasi ini tentu saja tidak hanya akan dirasakan oleh dunia, tetapi bisa juga terjadi dan akan sangat mengancam Indonesia. Sebab dengan meningkatnya permukaan air laut, desa-desa pesisir Indonesia tentu akan langsung merasakan dampaknya. Mulai dengan makin panjangnya jeda untuk tidak melaut bagi nelayan, saat angin barat. Yang tentunya ini akan berimplikasi langsung pada ekonomi keluarga mereka, maupun mengancam tenggelamnya lebih dari 4000 Desa-desa pesisir Indonesia. Apalagi Indonesia sebagai negara kepulauan, tentu akan sangat dirugikan dengan ancaman tenggelamnya pulau-pulaunya, terutama pulau-pulau kecil yang ratusan jumlahnya.

The Day After Tomorrow. Sebuah film yang menggambarkan tenggelamnya kota-kota besar di pesisir yang di sertai dengan runtuhnya patung Liberty di Kota New York AS pada tahun 2020. Tentunya situasi yang kita hadapi saat ini bukan lagi manifest film tersebut, tetapi ini kenyataan yang kita hadapi saat ini Lantas jika demikian. Sebenarnya apa yang di butuhkan oleh dunia kecil “lokal” dan kita sebagai individu penghuni planet bumi? adalah revolusi gaya hidup, sebab dengan demikian akan mengurangi penggunaan energi baik listrik, bahan bakar, air yang memang menjadi sumber utama makin berkurangnya sumber kehidupan.

Selain itu perlunya melahirkan konsesus yang membawa komitmen dari semua negara untuk menegakkan keadilan iklim. Seperti yang sudah dilakukan oleh Australia yang mempunyai instrumen keadilan iklim, melalui penegakan keadilan iklim dengan membentuk pengadilan iklim (Climate Justice). Dimana sebuah instrumen yang mengacu pada isi protokol kyoto yang menekankan pada kewajiban pada negara-negara utara untuk membayar dari hasil pembuangan emisi karbon mereka untuk perbaikan mutu lingkungan hidup bagi negara-negara selatan.

Dalam praktek yang lain saatnya kita mulai menggunakan energi bahan bakar alternatif yang tidak hanya dari bahan energi fosil, misalnya untuk kebutuhan memasak. Menggunakan energi biogas (gas dari kotoran ternak) seperti yang dilakukan komunitas merah putih di Kota Batu. Desentraliasasi energi memang harus dilakukan agar menghantarkan kita pada kedaulatan energi dan melepas ketergantungan pada sentralisasi energi yang pada akhirnya harganya pun makin mahal saja.

Sedangkan untuk para pengambil kebijakan harusnya mengeluarkan policy yang jelas orientasinya untuk mengurangi pemanasan global. Misalnya menetapkan jeda tebang hutan di seluruh Indonesia agar tidak mengalami kepunahan dan wilayah kita makin panas. Menghentikan pertambangan mineral dan batubara seperti di Papua, Kalimantan, Sulawesi, hal ini bisa dilakukan dengan bertahap mulai dari meninjau ulang kontrak karyanya terlebih dahulu. Selanjutnya kebijakan progressive dengan mempraktekkan secara nyata jeda tebang dan kedaulatan energi harus dilakukan jika kita tidak mau menjadi kontributor utama pemanasan global.

Di tingkatan pemuka agama, bagaiman kemudian bisa menafsirkan teologi-teologi yang ramah lingkungan

Iklim memang mengisi ruang hidup kita baik secara individu maupun sosial, maka tidak mungkin menegakkan keadilan iklim tanpa melibatkan kesadaran dan komitmen semua pihak. Bahwa tidak bisa dibantah, kita hidup dalam ekosistem dunia “perahu” yang sama, sehingga jika ada bagian yang bocor dan tidak seimbang, sebenarya ini merupakan ancaman bagi seluruh isi perahu dan penumpangnya. Maka merevolusi gaya hidup kita untuk tidak makin konsumtif sangat mendasar dilakukan sekarang juga oleh seluruh umat manusia. Sebab dengan begitu kita bisa menempatkan apa yang kita butuhkan bisa ditunda tidak, yang harus kita beli membawa manfaat atau tidak dan apakah yang kita beli bisa digantikan oleh barang yang lain yang ramah lingkungan? Selamat hari lingkungan hidup sedunia. Mari bertindak nyata untuk masa depan bersama.
Baca Selengkapnya...
Posted by Al-Falah Connection @ 8:21 PM   0 comments
    Melewati Zaman dan Pengetahuan
(Refleksi kaum muda)

By : Makhrus Habibi

Aku masih hidup di zamanmu. Zaman yang sangat sulit ku mengerti. Tapi berupaya ku pahami. Karena aku begitu mencintaimu. (Naga Bonar 2)

Orang sering berbicara bahwa sekarang zamannya sudah maju, sering mereka mempersepsikannya dengan zaman modern, modernitas, dan modernisme, sekarang sudah bisa ngomong langsung dengan saudara yang ada di luar pulau, sekarang sudah bisa lihat secara langsung kejadian-kejadian di Jakarta, bisa melihat peperangan yang ada di Jalur Gaza, perundingan-perundingan tentang Global Warning di Nusa Dua Bali, bahkan bisa melihat belantara Papua dengan segala keindahannya, tidak ada batas waktu dan tempat itulah mungkin intinya dari zaman ini yang kebanyakan orang menamakannya zaman modern.
Efektiv dan efisien yang menjadi prinsip dalam zaman modern ini telah memaksa kita untuk mengikutinya, kita tidak pernah bertanya apakah sebenarnya kita butuh atau tidak dengan prinsip tersebut, makanan siap saji, belajar dengan cepat, gaya baju yang minimalis (fashionable), kendaraan cepat, belajar agama kilat dan masih bayak produk-produk lainnya yang membuat sebuah trendsetter menjadi sebuah zaman yang instant.

Prinsip tersebut diatas juga membawa pada arah kemajun tekhnologi yang sangat pesat, kecepatan gerak dan kecepatan dalam mengakses informasi adalah sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi ketika menjadi pelaku-pelaku level nasional dan internasional, kemiskinan didefinisikan tidak hanya karena sulit makan dan sekolah serta sulit mendapat pelayanan kesehatan, tetapi kesulitan mendapatkan informasi sudah menjadi konsepsi pendefinisian kemiskinan pada saat ini. Adalah pada tingkatan kerja-kerja perusahaan besar, kecepatan gerak dan kecepatan mengakses informasi memang sangat dibutuhkan, baik dalam kerangka kecepatan dalam kerja perusahaan maupun efisien dalam pengelolaan modal, hal ini kemudian membawa arus kebudayaan, baik manusia sebagai bagian dari sistem ekonomi dunia, manusia sebagai bagian dari sistem sosial dunia, maupun manusia sebagai diri pribadi. Kita merasa butuh dengan koran pagi, kita merasa butuh dengan berita dari televisi, kita merasa butuh dengan sabun wangi, kita merasa butuh dengan pendidikan tinggi, kita merasa butuh handphone untuk berkomunikasi dan kita merasa butuh dan butuh. Kita tidak pernah menanyakan apakah merasa butuh itu adalah benar-benar kebutuhan atau hanya memang untuk menyesuaikan dengan arus zaman karena merasa bahwa kita adalah anak zaman.

Yang pasti zaman telah mengajak kita berjalan lebih cepat, dan seiring itu pula kita telah menjadi manusia yang lupa akan diri kita sendiri, kita menjadi manusia yang tidak sadar dengan apa yang kita lakukan, zaman telah memaksa kita untuk menonton televisi di malam hari, zaman yang telah memaksa kita untuk sehat dengan mandi pagi, zaman yang telah memaksa kita memakai parfum wangi, zaman yang telah memaksa kita untuk mencari uang dari pagi sampai sore hari, zaman yang telah memaksa kita untuk berpendidikan tinggi, zaman yang telah memaksa kita untuk adu gengsi sebagai sebuah perwujuadan eksistensi, zaman yang telah memaksa kita mempunyai HP sebagai alat komunikasi. Kita tidak pernah berani bertanya pada diri kita tentang kenapa kita merasa harus memiliki dan melakukannya. Kita baru tersadar bahwa selama ini ketidaksadaran telah mengisi hari-hari dengan aktivitas yang pada intinya tidak mempunyai visi-misi dan orientasi.

Tanpa kita sadari semua yang dilihat oleh mata, semua yang di dengar oleh telingan kita, dan semua yang telah di rasakan panca indra (sumber-sumber pengetahuan) telah membawa kita pada proses membentuk sebuah hukum-hukum, standarisasi-standarisasi, pengetahuan-pengetahuan di alam bawah sadar dari apa yang kita lihat dan apa yang kita rasakan. kehidupan sehari-hari kita telah terisi dengan aktivitas tidak sadar, terkadang kita tidak bisa memberikan beberapa alasan yang kuat atas keinginan kita, kenapa kita sarapan pagi ? kenapa kita memakai sepeda motor ? kenapa kita makan dengan ayam goreng ? kenapa kita sekolah dan kuliah ? kenapa kita mempunyai handphone yang berkamera ? kenapa kita berganti-ganti model baju (fashion) ? kenapa kita pacaran ? kenapa kita membutuhkan uang sekian juta ? kenapa kita kerja dari pagi sampai malam ? kenapa kita ini dan itu ?. kita merasa dikejar oleh tuntutan-tuntutan zaman, tuntutan keinginan yang telah kita ciptakan sendiri. Akhir cerita kita menjadi sebuah bangsa yang hanya repot memenuhi tuntutan dan sibuk memenuhi keinginan, kita menjadi bangsa yang selalu mengikuti arus kabekuan zaman, tanpa belum bisa befikir apa sebenarnya cita-cita keberadaan manusia baik secara komunal, maupun individual. Asal selebritis, dan asal british tidak lebih dari itu.

Bentukan-bentukan standarisasi di luar kesadaran ini kemudian akan membawa kita pada beberapa geneologi bahasa, ada tradisionalis, ada moderat, ada gaul ada kampungan, ada pintar ada bodoh, ada tampang gagah, macho, atau lain sebagainya, muncullah sebuah standarisasasi-satandarisasi (ukuran-ukuran) dalam mempersepsikan antara kecerdasan dengan kebodohan, antara moderat dengan tradisionalis, antara murid nakal dengan murid baik, antara siswa gaul dengan ketinggalan zaman. kita terbiasa mendengarkan apa yang mereka bicarakan, bukan apa yang mereka tidak bicarakan, kita sering membaca apa yang tersurat bukan apa yang tersirat. Kita menjadi manusia yang telah dibentuk dengan ketidaksadaran, kita mengatakan ini dan itu tetapi tidak mempunyi argumentasi yang kuat kenapa ini dan kenapa itu. menjadi sebuah manusia yang kehilangan akal atau rasioanalnya, menentukan segalanya dengan suka dan tidak suka (like and dis like)

Sehingga dalam mengetahui sebuah arus pikiran (baca : Kebenaran subjektif) tentu bisa di lihat dari sumber pengetahuannya, bagaimana orang tersebut membentuk atau mempersepsikan tentang kebaikan dan keburukan, mempersepsikan kebenaran dan kesalahan bisa di lihat dari sinetron favoritnya, surat kabar yang dibacanya, bacaan bukunya, atau berapa jam dalam menonton televisi, berapa menit dalam membaca buku, berapa saat dalam merefleksikan dirinya, berapa lama dalam berfikir dan merenungnya.

Michael Foucult seorang filosof postmodernisme : Knowledge is power mencoba menguraikan bahwa pengetahuan adalah kekuatan, ketika anda bisa menguasai pengetahuan-pengetahuan yang kemudian bisa menentukan kebenaran-kebenaran maka anda bisa menggerakkan apa yang anda ingin gerakkan, dengan kata lain bahwa kebenaran-kebenaran yang telah kita persepsikan dalam otak ini sangat di pangaruhi oleh sumber-sumber pengetahuan, kalaupun dalam keseharian kita sangat sering menonton tv dengan sinetron dan beritanya maka kebenaran yang disampaikan tv adalah kebenaran yang kita persepsikan, dan begitu sebaliknya. Kalau anda punya obsesi untuk menguasai dunia pendidikan maka anda harus menciptakan pengetahuan yang bisa mengadakan sebuah kebenaran-kebenaran umum yang kemudian bisa dimasukkan dalam dunia pendidikan.

Ketika dulu orang mendefenisikan pacaran dengan hanya sebatas surat-suratan dengan sang idola sekarang sudah beda yang namanya pacaran ya KNPI (kissing, necking, petting dan …………), dulu kita mempersepsikan bahwa perempuan yang cantik itu adalah yang rada gemuk (baca : subur) tetapi sekarang perempuan yang cantik (baca : seksi) itu adalah yang kurus. Kebenaran sangat tergantung dari penguasa pengetahuan, dan jangkauan untuk mengkomunikasikan melalui media-medianya. Dengan kata lain bahwa keberadaan pengetahuan tidak bebas nilai (netral) keberadaan pengetahuan mempunyai maksud dan tujuan sehingga kebenaran-kebenaran yang dimunculkannya juga mempunyai orientasi.

Penulis tidak ingin menjawab atas pertanyaan-pertanyaan, tetapi bermaksud untuk menguraikan sekian permasalahan-permasalahan tentang kesadaran, ketidaksadaran dan pengetahuan, karena penulis yakin bahwa kita punya kebenaran masing-masing dalam memandang sesuatu. Baik-buruk saya, benar-salah dia tentu berbeda, karena pengalaman dan sumber pengetahuan kita berbeda

Apakah kita bisa dan berani untuk melampaoi zaman dan pengetahuan ? Sebuah pertanyaan reflektif bagai kaum muda dan semuanya, bahwa selama ini kita terkungkung oleh zaman yang sangat menyesakkan dan pengetahuan yang telah meracuni otak kita. Al hasil, tidak ada paksaan untuk mengikuti arus peradaban, tidak pula berdosa untuk meninggalkan arus zaman, siapa yang kuat dia yang akan menang (survivel of the fittes) kata Darwin, siapa yang menguasai pengetahuan dia yang akan bisa membentuk peradaban dan semuanya adalah pilihan kawan !!! terakhir semoga kita tersadarkan dengan ketidaksadaran kita selama ini.
Baca Selengkapnya...
Posted by Al-Falah Connection @ 8:16 PM   0 comments
    Selamat dan Sukses ...
Saturday, November 10, 2007
Seluruh Crew Al-Falah Connection mengucapkan Selamat
atas Wisuda Sarjana Saudara
IKHWAN HADI, S.Pd.I.
pada Sabtu, 10 Nopember 2007 di
Universitas Islam Negeri Malang.
Semoga Ilmu yang didapatnya dapat dimanfaatkan bagi kepentingan umat. Amin
Baca Selengkapnya...
Posted by Al-Falah Connection @ 8:55 PM   0 comments
    Mencintai Rasul Sebagai Benteng Menghadapi Aliran Sesat
Thursday, November 8, 2007
Al-Qiyadah Al-Islamiyah tentu bukan kata yang asing di telinga kita. Sebulan terakhir ini kita mendengar kata ini disebut di televisi dan radio, ditulis di surat kabar, internet, koran dan tabloid, disebut dalam diskusi-diskusi kelompok masyarakat kita. Penyelewengan selalu menjadi hal yang menarik untuk dibahas. Seperti halnya penyelewengan dalam masalah rumah tangga, penyelewengan ajaran agama menjadi hal yang dengan sangat cepat meroket, menempati chart tertinggi dalam setiap pembahasan. Majelis Ulama Indonesia telah menyatakan bahwa Al-Qiyadah merupakan aliran sesat. Hal ini dilakukan setelah pengkajian terhadap beberapa pokok dan sumber ajarannya. Hal utama aliran ini dinyatakan sesat karena telah mengingkari Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul terakhir. Ahmad Mozadeq sebagai pengembang ajaran ini mengklaim dirinya sebagai Rasul, setelah Muhammad. Pengakuan ini dituangkan dalam perubahan Syahadat mereka menjadi, “Asyhadu an Laa Ilaaha Illallah, wa asyhadu anna Ahmad Mozadeq Rasullullah”. Bukankah ini adalah penghianatan terhadap ajaran Islam murni yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai khatamunnabiyyin (penutup para nabi)? Apakah kita siap menghadap kepada Allah sebagai pengkhianat Islam?
Ajaran sesat ini tentu menimbulkan kegeraman dari berbagai kalangan umat Islam. Terutama pada kalangan radikal seperti FPI dan berbagai forum religius yang akhirnya dengan berani mengambil sikap keras yang berujung tindakan kriminal pada setiap pengikut aliran sesat. Tak ayal lagi, pengrusakan dan penghakiman dilakukan oleh massa terhadap person-person yang dianggap ikut andil dalam penyebaran ajaran sesat ini.

Fenomena aliran sesat sebenarnya telah sejak lama membumi di tanah air kita ini. Beberapa diantaranya yang mencuat dan mendapat kecaman keras adalah aliran Ahmadiyah, Al-Qur’an Suci dan Al-Qiyadah. Mereka berkembang secara underground, dengan pengikut yang kadang tersebar di berbagai daerah. Hingga akhirnya ketika muncul ke permukaan, akan langsung mendapat kecaman keras dari umat Islam.
Beberapa pakar telah menyebutkan bahwa rata-rata aliran sesat yang muncul memiliki berbagai kesamaan, diantaranya adalah :
Aliran yang berkembang memiliki pemimpin yang kharismatik. Pemimpin yang mengaku sebagai nabi ini adalah orang yang sangat peduli terhadap sesamanya, apalagi terhadap kader rekrutannya. Hal ini memudahkan baginya untuk mempengaruhi dan mendoktrin setiap orang untuk masuk dan ikut dalam ajarannya. Beberapa pengikut aliran sesat berkata, sejarah penyebaran ajaran ini sama persis dengan sejarah yang terjadi pada masa Nabi Muhammad. Nabi mereka akan diusir, dikucilkan, dilempari batu. Sehingga dengan kharisma yang dimiliki, pemimpin akan tetap mampu mengembangkan ajarannya meskipun berbagai pihak, termasuk pemerintah, memberikan peringatan dan ancaman. Hal ini juga sebenarnya tidak terlepas dari kondisi masyarakat yang sedang mengalami tekanan. Baik itu tekanan ekonomi akibat desakan kebutuhan, tekanan psikologis akibat perubahan gaya hidup yang sangat cepat, ataupun tekanan akibat masalah politik negara yang berpengaruh pada semua lini hidup.
Orang yang direkrut menjadi anggota aliran sesat rata-rata memiliki tingkat pemahaman agama rendah. Ya, tentu saja hal itu benar. Bukankah Al-Qur’an telah memerintahkan kita untuk masuk ke dalam Islam secara kaffah? Kaffah yang berarti ber-Islam dalam setiap gerakan. Islam dalam Aqidah, Islam dalam ekonomi, Islam dalam Pendidikan, Islam dalam pergaulan, dan Islam semuanya. Rasul telah meninggalkan dua pedoman hidup yang akan menyelamatkan kita dari kesesatan. Al-Qur’an dan Hadits. Pemahaman yang total terhadap sumber ajaran ini akan membawa kita kepada keselamatan, dunia dan akhirat. Sedangkan pemahaman yang setengah-setengah terhadap sumber ajaran ini tentu akan memberikan resiko sebaliknya. Muslim yang memiliki pengetahuan setengah-setengah tentang Islam akan sangat mudah untuk diselewengkan akidahnya. Dalam kasus Al-Qiyadah, kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut : bukankah telah sangat jelas dipaparkan bahwa setiap Rasul memiliki mu’jizat yang diberikan oleh Allah sebagai bukti bahwa ia benar-benar Rasul? Jika memang Ahmat Mozadeq adalah Rasul, apa mu’jizat yang dibawanya? Apakah mu’jizatnya lebih besar dibanding Al-Qur’an?
Dalam aliran sesat, terdapat pemusatan dan otoriterisasi kebijakan pada pemimpin. Pemimpin bebas memerintahkan apa saja bagi pengikutnya, sesuai yang dituangkan dalam Anggaran Dasarnya. Al-Qiyadah Al-Islamiyah telah mewajibkan pemeluknya untuk menyerahkan sebagian hartanya kepada pemimpin. Dengan dalih sebagai sedekah, pengikut menyerahkan beberapa kendaraan. Bahkan yang lucu, bagi pengikut yang berhasil mengajak 40 orang ke dalam aliran ini, akan mendapatkan sebuah sepeda motor. Apakah ini tidak lebih dari sekedar arisan? Keadaan ekonomi masyarakat rupanya tak pernah dapat dilepaskan dari masalah akidah. Sebagaimana yang pernah ditegaskan oleh Rasul :
“dan kefakiran itu lebih dekat kepada kekufuran”
Yang sangat menarik dari kajian aliran sesat ini adalah pandangan yang mengemukakan bahwa aliran sesat merupakan operasi intelijen yang dilakukan untuk memecah suara umat Islam dalam Pemilu yang akan diadakan beberapa tahun ke depan. Pada Pemilu sebelumnya, fenomena aliran sesat juga muncul bertubi-tubi. Bagaimana tidak, dengan munculnya aliran-aliran baru dalam Islam, umat akan bingung kemana mesti memberikan dukungan. Tentu saja hal ini dikhususkan bagi komunitas muslim yang tidak cukup memiliki pegangan kuat berpolitik. Bagi muslim yang hanya ber-Islam dalam KTP. Bagi muslim yang shalat mungkin hanya seminggu sekali, atau setahun dua kali. Dalam ruang lingkup yang universal, pecahnya suara umat akan berpengaruh pada posisi nomor satu di negeri ini, Presiden. Jika presiden kita bukan muslim, akankah ada wadah bagi setiap aspirasi yang diberikan warga muslim?
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah : Bagaimana menghindarkan diri dari berbagai ajaran sesat?
Selama kita berpegang pada rukun Iman dan rukun Islam, maka kita tidak akan pernah terjerumus dalam ajaran sesat yang tak jelas asal muasal dan ujungnya. Salah satu jalannya adalah dengan mencintai Rasulullah. Rasul yang kita percayai ajarannya, sehingga hati kita teguh dalam ber-Islam. Dengan mencintai Rasul, maka kita akan mendapatkan ketenangan dalam menjalankan ajaran Islam. Secara Kaffah.
Beberapa cara mencintai Rasul adalah sebagai berikut :
Meyakini dengan penuh tanggung jawab akan kebenaran Nabi Muhammad dan apa yang dibawa oleh beliau. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala menandaskan tentang ciri orang bertaqwa:
“Dan orang-orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. (Az-Zumar : 33).
Ikhlas mentaati Rasul Shallallaahu alaihi wa Sallam dengan melaksanakan seluruh perintah dan menjauhi seluruh larangan beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam . Sebagaimana janji Allah :
“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (An-Nuur: 54).
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (An-Nisaa’: 65).
Mencintai beliau, keluarga, para sahabat dan segenap pengikutnya. Rasulullah bersabda:
"Tidaklah beriman seseorang (secara sempurna)sehingga aku lebih dia cintai daripada orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Membela dan memperjuangkan ajaran Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam serta berda’wah demi membebaskan ummat manusia dari kegelapan kepada cahaya, dari ke zhaliman menuju keadilan, dari kebatilan kepada kebenaran, serta dari kemaksiatan menuju ketaatan. Sebagaimana firman di atas :
“Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Al-A’raaf: 157).
Meneladani akhlaq dan kepemimpinan Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam dalam setiap amal dan tingkah laku, itulah petunjuk Allah:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah”. (Al-Ahzab:21).
Memuliakan dengan banyak membaca shalawat salam kepada beliau terutama setelah disebut nama beliau.
“Merugilah seseorang jika disebut namaku padanya ia tidak membaca shalawat padaku.” (HR. At-Tirmidzi)
Waspada dan berhati-hati dari ajaran-ajaran yang menyelisihi ajaran Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam seperti waspada dari syirik, tahayul, bid’ah, khurafat, itulah pernyataan Allah :
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi ajaran Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. (An-Nur: 63).
Mensyukuri hidayah keimanan kepada Allah dan RasulNya dengan menjaga persatuan umat Islam dan menghindari perpecahan dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-shahihah. Itulah tegaknya agama:
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah karenanya”. (Asy-Syura: 13).
Sebagai kesimpulan dari artikel ini adalah : pemahaman yang total terhadap ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. adalah satu-satunya jalan menghindarkan diri dari kesesatan yang terjadi. Baik itu kesesatan secara parsial (sebagian) ataupun kesesatan secara universal (menyeluruh). Untuk mengenali sesuatu yang asli, kita tentu harus mengetahui sesuatu yang palsu. Begitu juga sebaliknya. Asli dan palsu dibedakan dari esensi yang dikandung, bukan dari kulit luar. Islam yang dibawa Rasul Muhammad Saw. adalah agama paripurna yang telah mengatur seluruh kepentingan umatnya, yang mengajak umatnya menjadi umat terbaik, yang mengajak umatnya memakmurkan bumi, yang meletakkan maslahah di atas kepentingan pribadi maupun golongan.
Mari kita buka hati untuk menerima Hidayah dari-Nya. Semoga Allah tetap memberikan kekuatan pada kita untuk tetap pada Islam yang benar, yang dibawa oleh Rasul junjungan kita 1600 tahun lalu. Semoga kita akan bertemu dengan Rasulullah di Padang Mahsyar dengan pengakuan sebagai umatnya, mendapatkan syafaatnya. Amin

Oleh : Muhammad Zainal Abidin
Penulis adalah Mahasiswa UIN Alauddin Makassar
Baca Selengkapnya...
Posted by Al-Falah Connection @ 8:26 PM   0 comments
    Ketika kerudung di ganti dengan kresek
Ketika melihat film India, mereka rata-rata memakai kerudung, ketika melihat orang-orang timur tengah entah Islam, Kristen atau Nasrani mereka juga rata-rata memakai kerudung, bunda Maria juga memakai kerudung, para pendeta perempuan (aku lupa namanya) juga memakai kerudung, orang Yahudi ortodoks juga memakai kerudung, hal yang kemudian membikin bingung dalam mempersepsikan kerudung adalah apakah kerudung itu adalah sebuah budaya atau memang ajaran agama. Kenapa harus pake kerudung ??
Terlepas dari perdebatan apakah kerudung adalah budaya atau ajaran agama, penulis mencoba mengambil kesimpulan bahwa secara substansial keberadaaan fungsi kerudung tidak lain hanya sebatas untuk menutupi aurat (baca : organ yang bikin merangsang) ketika di pandang dalam perspektif agama, supaya orang yang melihatnya tidak terangsang atau yang memakainya tidak menjual ransangan, supaya tidak membikin otak lelaki tambah kotor atau mengantisipasi perbuatan-perbuatan anarkisme biologis, dengan kata lain hanya sebatas untuk jaminan keamanan bagi seorang perempuan, ketika perempuan mengumbar organ yang bikin merangsang yang pasti sama juga dia mengundang reaksi anarkhisme seksual (ngeri banget bahasanya) ada yang menggunakan cara yang soft dengan rayuan-rayuan mautnya, ada juga yang main kasar dengan memaksanya dan ada juga yang memang menjadikan sebuah ideologi (baca : freesex) untuk mengesahkan kebebasan menikmati keindahan. Ketika mata ini melihat yang indah-indah tentunya akan ada hasrat atau keinginan untuk merasakan keindahan tersebut. Sangat naluriah bagi manusia ketika melihat yang indah atau yang memikat maka kemudian mereka akan mempunyai kecenderungan untuk lebih tahu dan lebih tahu. entah dengan cara merasakan, secara langsung (membeli sate) atau tidak langsung (pake sabun, yang ini ma g sehat hoe) ketika sang pecinta lukisan sangat tertarik dengan sebuah lukisan, maka orang tersebut pasti akan membelinya ketika lukisan itu di jual dengan harga berapapun, karena dia suka, dan apakah dia salah ketika dia mencintai lukisan dan ingin memilikinya yang kemudian dia punyak kebebasan untuk menikmatinya kapan pun dia mau ??

Dalam perspektif penikmat keindahan (baca : organ seksi) sebenarnya indah atau tidak, seksi atau tidak, merangsang atau tidak sangat tergantung dari suasana pikirannya, sangat tergantung dari persepsinya, ketika otak ini sedang kotor maka apapun bentuk orangnya, apapun bentuk penutupnya, otak tetap kotor dan ngeres, dalam otak bukan lagi soal keindahan tetapi sudah bagaimana menikmati keindahan tersebut, ketika penikmat lukisan tahun bahwa karya lukisan di pameran sangat indah kemungkinan banyak mereka akan membelinya, tidak menjadi soal harga mahal atau murah karena sudah terlanjur suka (ini soal perasaan dan kepuasan kawan!!)
Kalau yang menjadi masalah adalah menutupi aurat dengan maksud untuk menutupi organ seksi supaya orang tidak berfikir kotor dan akhirnya jangan sampai berbuat yang kotor-kotor, apakah kerudung adalah satu-satunya perangkat untuk menutupi aurat, apakah kerudung adalah satu-satunya jalan untuk mengurangi otak kotor, mengurangi pikiran-pikiran yang lagi ngeres, kalau jawabannya bukan berarti bisa kita menyimpulkan bahwa kerudung adalah sebuah kebudayaan, sebuah budaya orang-orang timur tengah yang kemudian di bawa ke Asia kecil (india) dan mereka (orang india) mengikutinya. (gitu ya…??)
Secara substansial ketika kerudung berfungsi untuk mengantisipasi otak-otak yang kotor, mengurangi kekerasan-kekerasan penikmat keindahan perempuan dalam pespektif faham materialisme itu “iya” bahwa persepsi (baca : pengetahuan) itu berasal dari inderawi, ketika yang di lihat sudah tertutupi kerudung dan kerudung seharusnya (dalam paham ini) mereka tidak berfikiran kotor. Tetapi dalam perspektif faham idealisme, bahwa otak kotor itu berasal dari fikiran dan fikiran itu adalah alam ide yang lebih awal ada, artinya sebelum ada orang memakai kerudung, otak kotor sudah ada dalam alam ide, sehingga memakai atau tidak berarti sama saja, karena otak ini sudah membentuk persepsi-persepsi terhadap alam materiil. Apapun bentuknya kalau otak sudah kotor ya tetap kotor. Karena alam ide tidak terpengaruhi oleh alam materiil.

Ketika kerudung jadi produk pasar
Penduduk Indonesia mayoritas Islam, dan lebih banyak perempuannya, sampai saat ini kerudung tetap menjadi simbol kaum muslimat, dalam perspektif orang berdagang, jualan kerudung tentu sangat prospektif, pasar kerudung sangat potensial untuk menghasilkan laba sebanyak-banyaknya. Dan tentunya mereka (baca : Pengusaha) sudah membacanya bahkan berjualan kerudung di pasar.
Sehingga saat ini kita sering melihat berbagai iklan menayangkan orang-orang dengan memakai kerudung, berbagai artis dengan gosipnya tetapi memakai kerudung, penyanyi dengan lagu dangdutnya juga memakai kerudung, sinetron yang berbau seksual juga pake kerudung, dan banyak media-media lain yang selalu tidak lepas dari kerudung. Ada kerudung yang model inilah itulah, yang minimalis, yang islamis, yang gaul yang seksi dan yang-yang lainnnya
Pertanyaan yang kemudian muncul, kenapa ini menjadi sebuah trend (baca : budaya pop) apakah memang semua orang mulai sadar dengan Islamnya atau memang kerudung menambah seksi??
Dalam perspektif ilmu pemasaran, munculnya kerudung di berbagai media, ini adalah sebuah strategi penguatan pasar dalam rangka untuk membentuk konsumen tetap pasar kerudung. Ada yang menggunakan artis top, ada yang menggunakan da,i top, ada yang menggunakan artis gaul itu adalah sekian strategi untuk memaksimalkan semua segmen pasar. Dengan berbagai macam kerudung yang di ciptakan produsen mencoba untuk memasuki semua segeman pasar.
Sedangkan dalam perspektif analisa media, keberadaan sebuah trend /isu itu tidak bisa datang dengan sendirinya (an sich). Keberadaan isu pasti membawa sebuah maksud tertentu, dalam konteks ini kemudian (perpektif dagang) kita bisa membaca bahwa trend setter kerudung tidak datang dengan sedirinya, tidak datang atas kesadaran masyarakat akan kerudung tetapi lebih bermotiv profit oriented (mencari laba) yang kemudian tanpa sadar keberadaan kerudung tidak lebih sebagai barng pasar dan keberadaan dalil-dalilnya tidak jauh dari strategi memasuki pasar yang akhirnya berujung dengan profit. Astaghfirulloh
Al hasil kerudung menjadi sebuah produk dagangan, bukan lagi berbicara soal menutupi aurat atau tidak, bukan lagi berbicara soal mengantisipasi para penikmat keindahan, tetapi hari ini berbicara soal kerudung (kontekstual) berarti sama dengan membantu orang menjual barang dagangannya.
Ketika dompet kempes dan sang cewek minta kerudung dan ternyata kerudung tidak ada yang murah harganya saya hanya bisa bilang Jancooook-Jancok, karena kalau tidak di belikan akan di anggap tidak Islami dan pada kemungkinan besar saat itu juga gw di putus……, hanya dengan satu alasan gw di anggap orang muslim tapi tida tau Islam, memang hebat cewekku ini, di ajak menikmati keindahan dunia (terserah kawan-kawan mengartikan) dia oke banget tetapi masih konsisten memakai kerudung, apakah ini sterategi untuk menutupi bunga yang sudah layu atau memang dia mematuhi Ajaran dari keyakinannya.
Saya tidak bisa membayangkan ketika ada seorang anak kecil yang meminta kerudung kepada ayahnya, kalau tidak di turuti nanti di anggap Muslim yang tidak ngerti Islam, kalau di turuti berarti dia tidak bisa membayar sekolah anaknya, kok kerudung tambah bikin susah sih…….. (mungkin….)
Penulis hanya bisa mengandaikan alangkah indahnya ketika kerudung di ganti dengan plastik kresek (plastik kantongan warna hitam) selain murah, palstik kresek yang di gunakan sebagai kerudung tidak akan mengundang otak kotor, secara substansial berarti tepat menggantikan fungsi kerudung dan di bisa di beli oleh semua kalangan.
Entahlah………………

Makhrus habibi
Baca Selengkapnya...
Posted by Al-Falah Connection @ 8:01 PM   1 comments
    Masyarakat Madani Indonesia
Thursday, November 1, 2007

Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan alternatif yang mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai hak manusia. Hal ini diberlakukan ketika negara sebagai penguasa dan pemerintah tidak bisa menegakkan demokrasi dan hak-hak asasi manusia dalam menjalankan roda kepemerintahannya. Di sinilah kemudian konsep masyarakat madani menjadi alternatif pemecahan, dengan pemberdayaan dan penguatan daya kontrol masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang pada akhirnya nanti terwujud kekuatan masyarakat sipil yang mampu merealisasikan dan menegakkan konsep hidup yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia.
Sosok masyarakat madani bagaikan barang antik yang memiliki daya tarik amat mempesona. Kehadirannya yang mampu menyemarakkan wacana politik kontemporer dan meniupkan arah baru pemikiran politik, bukan dikarenakan kondisi barangnya yang sama sekali baru, melainkan disebabkan tersedianya momentum kondusif bagi pengembangan masyarakat yang lebih baik.
Berbicara mengenai kemungkinan berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat di muka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah yang mempunyai kekuatan dan bagian dari social control. Sejak zaman Orde Lama dengan rezim Demokrasi Terpimpinnya Soekarno, sudah terjadi manipulasi peran serta masyarakat untuk kepentingan politis dan terhegemoni sebagai alat legitimasi politik. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan kegiatan dan usaha yang dilakukan oleh anggota masyarakat dicurigai sebagai kontra-revolusi. Fenomena tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa di Indonesia pada masa Soekarno pun mengalami kecenderungan untuk membatasi gerak dan kebebasan publik dalam mengeluarkan pendapat.

Sampai pada masa Orde Baru pun pengekangan demokrasi dan penindasan hak asasi manusia kian terbuka seakan menjadi tontonan gratis yang bisa dinikmati oleh siapapun untuk segala usia. Hal ini dapat dilihat dari berbagai contoh kasus pada masa orde baru berkembang. Misalnya kasus pemberedelan lembaga pers, seperti AJI, DETIK dan TEMPO. Fenomena ini merupakan sebuah fragmentasi kehidupan yang mengekang kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasi di muka umum, apalagi ini dilakukan pada lembaga pers yang nota bene memiliki fungsi sebagai bagian dari social control dalam menganalisa dan mensosialisasikan berbagai kebijakan yang betul-betul merugikan masyarakat.
Selain itu, banyak sekali terjadi pengambilalihan hak tanah rakyat oleh penguasa dengan alasan pembangunan, juga merupakan bagian dari penyelewengan dan penindasan hak asasi manusia, karena hak atas tanah yang secara sah memang dimiliki oleh rakyat, dipaksa dan diambil alih oleh penguasa hanya karena alasan pembangunan yang sebenarnya bersifat semu. Di sisi lain, pada era orde baru banyak terjadi tindakan-tindakan anarkisme yang dilakukan oleh masyarakat sendiri. Hal ini salah satu indikasi bahwa di Indonesia – pada saat itu – tidak dan belum menyadari pentingnya toleransi dan semangat pluralisme.
Melihat itu semua, maka secara esensial Indonesia memang membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi pemberdayaannya sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.
Dalam hal ini, menurut Dawam ada tiga (3) strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi dalam memberdayakan masyarakat madani di Indonesia.
Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik. Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat. Bagi penganut paham ini pelaksanaan demokrasi liberal hanya akan menimbulkan konflik, dan karena itu menjadi sumber instabilitas politik. Saat ini yang diperlukan adalah stabilitas sebagai landasan pembangunan, karena pembangunan – lebih banyak yang terbuka terhadap perekonomian global – membutuhkan resiko politik yang minim. Dengan demikian persatuan dan kesatuan bangsa lebih diutamakan dari demokrasi.
Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi. Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah menunggu rampungnya tahap pembangunan ekonomi. Sejak awal dan secara bersama-sama diperlukan proses demokratisasi yang pada esensinya adalah memperkuat partisipasi politik. Jika kerangka kelembagaan ini diciptakan, maka akan dengan sendirinya timbul masyarakat madani yang mampu mengontrol terhadap negara.
Strategi yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat ke arah demokratisasi. Strategi ini muncul akibat kekecewaan terhadap realisasi dan strategi pertama dan kedua. Dengan begitu strategi ini lebih mengutamakan pendidikan dan penyadaran politik, terutama pada golongan menengah yang makin luas.
Ketiga model strategi pemberdayaan masyarakat madani tersebut dipertegas oleh Hikam bahwa di era transisi ini harus dipikirkan prioritas-prioritas pemberdayaan dengan cara memahami target-target grup yang paling strategi serta penciptaan pendekatan-pendekatan yang tepat dalam proses tersebut. Untuk keperluan itu, maka keterlibatan kaum cendekiawan, LSM, ormas sosial dan keagamaan dan mahasiswa adalah mutlak adanya, karena merekalah yang memiliki kemampuan dan sekaligus aktor pemberdayaan tersebut.
Konsepsi ini dipercaya lagi dengan opini Hannah Arrendt dan Juergen Habermas yang menekankan ruang publik yang bebas (the free public sphere). Karena adanya ruang publik yang bebaslah, maka individu (warga negara) dapat dan berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan penerbitan yang berkenaan dengan kepentingan yang lebih luas. Dan institusionalisasi dari ruang publik ini adalah ditandai dengan lembaga-lembaga volunteer, media massa, sekolah, partai politik, sampai pada lembaga yang dibentuk oleh negara tetapi berfungsi sebagai lembaga pelayanan masyarakat.

KARAKTERISTIK Masyarakat MADANI
Penyebutan karakteristik masyarakat madani dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa dalam merealisasikan wacana masyarakat madani diperlukan prasyarat-prasyarat yang menjadi nilai universal dalam penegakan masyarakat madani. Prasyarat ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain atau hanya menjadi salah satunya saja, melainkan merupakan satu kesatuan yang integral menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi masyarakat madani. Karakteristik tersebut antara lain adalah Free Public Sphere, Demokratis, Toleransi, Pluralisme, Keadilan Sosial (Social Justice) dan Berkeadaban.
FREE PUBLIC SPHERE
Yang dimaksud dengan free public sphere adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Pada ruang publik yang bebas lah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Aksentuasi prasyarat ini dikemukakan oleh Arendt dan Habermas. Lebih lanjut dikatakan bahwa ruang publik secara teoritis bisa diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free public sphere menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Karena dengan menafikan adanya ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.
DEMOKRATIS
Demokratis merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demokratis berarti masyarakat dpat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras dan agama. Prasyarat demokratis ini banyak dikemukakan oleh para pakar yang mengkaji fenomena masyarakat madani. Bahkan demokrasi merupakan salah satu syarat mutlak bagi penegakan masyarakat madani. Penekanan demokrasi (demokratis) di sini dapat mencakup sebagai bentuk aspek kehidupan seperti politik, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya.
TOLERAN
Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain. Toleransi ini memungkinkan akan adanya kesadaran masing-masing individu untuk menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan dalam kelompok masyarakat lain yang berbeda. Toleransi – menurut Nurcholis Madjid – merupakan persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat” dari pelaksanaan ajaran yang benar.
Azyumardi Azra pun menyebutkan bahwa masyarakat madani (civil society) lebih dari sekedar gerakan-gerakan pro demokrasi. Masyarakat madani juga mengacu ke kehidupan yang berkualitas dan tamaddun (civility). Civilitas meniscayakan toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap politik yang berbeda.
PLURALISME
Sebagai sebuah prasyarat penegakan masyarakat madani, maka pluralisme harus dipahami secara mengakar dengan menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang menghargai dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Pluralisme tidak bisa dipahami hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai positif, merupakan rahmat Tuhan.
Menurut Nurcholis Madjid, konsep pluralisme ini merupakan prasyarat bagi tegaknya masyarakat madani. Pluralisme menurutnya adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and balance).
Lebih lanjut Nurcholis mengatakan bahwa sikap penuh pengertian kepada orang lain itu diperlukan dalam masyarakat yang majemuk, yakni masyarakat yang tidak monolitik. Apalagi sesungguhnya kemajemukan masyarakat itu sudah merupakan dekrit Allah dan design-Nya untuk umat manusia. Jadi tidak ada masyarakat yang tunggal, monolitik, sama dan sebangun dalam segala hal.
KEADILAN SOSIAL
Keadilan dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan tidak adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (penguasa).
KESIMPULAN

Di Indonesia tema masyarakat madani mengalami penerjemahan yang berbeda-beda dengan sudut pandang yang berbeda pula, seperti masyarakat madani sendiri, masyarakat sipil, masyarakat kewargaan, masyarakat warga, dan civil society (tanpa dijelaskan).
Untuk itu marilah kita jangan salah mengartikan semua masyarakat yang disebutkan di atas, tetapi marilah kita mencoba mengartikan dengan sebaik-baiknya.

Posted By : Bidin
Baca Selengkapnya...
Posted by Al-Falah Connection @ 9:24 AM   1 comments
    Kekerasan dalam Pendidikan dan Warisan Kolonial
(oleh Rahmat Hidayat)


“…pendidikan harus menanamkan tanggung jawab, kehormatan, tetapi tanpa menjadi beo atau bebek; anak harus dipimpin supaya berdiri sendiri…”
(Driyakara, 2006:422)

Di tengah budaya masyarakat Indonesia, hukuman fisik adalah suatu yang sangat wajar dan masih banyak para orang tua atau para pendidik yang dalam memberikan hukuman fisik. Seorang teman yang menceritakan pengalaman traumatisnya, dari pengalamannya seorang teman yang pernah mendapatkan hukuman fisik, pada suatu hari saat guru mengajarkan suatu pelajaran tertentu, sang murid disuruh maju kedepan untuk mengerjakan soal yang diberikan oleh guru, setelah mengerjakan soal dan diperiksa oleh guru ternyata jawabannya salah semua, tanpa berpikir panjang guru langsung memberi hukuman dengan memukulkan kayu rotan dipunggungnya. Dari pengalaman diatas hanya sebagian kecil saja yang terjadi di Indonesia.
Suatu data menyebutkan sepanjang kwartal pertama 2007 terdapat 226 kasus kekerasan terhadap anak di sekolah. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan kwartal yang sama tahun lalu yang berjumlah 196. Ketua Umum Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak Seto Mulyadi mengatakan selama Januari-April 2007 terdapat 417 kasus kekerasan terhadap anak. Rinciannya, kekerasan fisik 89 kasus, kekerasan seksual 118 kasus, dan kekerasan psikis 210 kasus. Dari jumlah itu 226 kasus terjadi di sekolah, ujar Seto Mulyadi dalam diskusi di Jakarta.
Dan kemudian yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kekerasan fisik masih saja terjadi?dan bagaimana dampaknya terhadap anak?
pandangan penulis hukuman fisik yang adalah warisan budaya colonial, sejarah pendidikan colonial sangat berpengaruh, yakni pendidikan colonial disini membangun pola pendidikan tradisional yang melegitimasikan aksi hukuman fisik, berupa suatu tindakan yang menyakiti secara fisik dengan tujuan untuk menekan perilaku negatif seorang anak atau orang lain. Dengan menggunakan metode itu dipercaya bahwa perilaku positif anak akan terbentuk. Warisan ini dapat di identifikasi pada saat penjajahan belanda yang banyak sekali menggunakan hukuman fisik sebagai bentuk hukuman yang paling mujarab. Tipologi pendidikan warisan belanda semcam ini sampai sekarang bahkan masih aktif digunakan secara terbuka di tengah masyarakat. Hal ini dapat kita ketahui juga lebih lanjut dengan melihat bahwa pada kenyataanya identitas-identitas budaya yang dijajah dan penjajah secara konstan bercampur atau bersilangan. Dengan melihat ungkapan dari Frantz Fanon seorang pakar tentang kolonailisme mengatakan bahwa kolonalisme diartikan sebagai penonmanusiawian (dehumanization) rakyat di daerah koloni. Orang-orang yang dijajah tidak diperlakukan sebagai manusia, tetapi lebih kepada benda. Jelasalah bahwa ternyata begitu besar pengaruh dari kolonialisme. Colonial jaman belanda kental dengan perbudakan yakni dengan melihat adanya legitimasi majikan untuk menghukum budak bila melakukan kesalahan, adanya nilai superior dan inferior dalam pengambilan keputusan seorang majikan tidak memperhitungkan nilai-nilai demokratis. Budaya majikan disini jelas mempunyai kewibawaan dan status social yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Kalau melihat realiatas sekarang akar kekerasan tersebut masih ada, seperti dengan halnya guru menghukum muridnya, posisi orang tua dalam mendidik anak dalam keluarga, golongan ningrat yang melakukan kekerasan terhadap budak dan pejabat pemerintahan menekan rakyatnya, yang juga memiliki legitimasi untuk menerapkan penghakiman dan distribusi sanksi sepihak tanpa proses demokrasi.
Dalam proses pendidikan tampaklah sebuah proses pemberian hak khusus kepada segolongan masyarakat tertentu (guru, orang tua atau yang dituakan). Driyarkara menyebutkan sebagai kecenderungan pendidikan yang stato-centris, dimana guru dijadikan sebagai pengontrol (controleur). Apa yang dilakukan anak akan menjadi benar bilamana sesuai dengan yang diharapakan orang lebih dewasa. Kalau melihat pemikiran dari Eric Fromm yang mengatakan bahwa “ketakutan” sebagai akar dari kekerasan”, jadi jelaslah bahwa akar kekerasan dalam pendidikan ialah ketakutan yang muncul dari dalam diri seorang pendidik ketika secara eksistensial berhadapan dengan seorang anak didiknya. Jadi dalam bahasa sederhananya para pendidik harus ditakuti oleh muridnya, mahasiswa harus takut ke dosen, guru harus ditakuti oleh mudirdnya.

Dampaknya terhadap psikologis
Pengalaman masa lalu adalah salah satu tipologi psikologis dari seorang anak, jadi pengalaman masa lalu yang pernah didapatkan seorang anak baik kekerasan fisik, kekerasan mental, dan beberapa pengalaman pahit dialami semasa kecil akan terus berdampak pada saat dewasa. Dalam bukunya A Child Caled It, Dave Pelzer mengungkapkan tentang bagaimana kondisi psikologis dirinya merupakan pembentukan berdasarkan pengalaman psikologisnya di masa kanak-kanak. Dave menceritakan bagaimana kisah-kisah kekerasan yang dialaminya semasa kecil telah membentuknya sebagai pribadi yang “pincang”. Kekeresan selalu “melahirkan kekerasan”. Disadari atau tidak apa yang dilakukan dalam pendidikan tradisional telah membentuk psikologi sosial masyarakat Indonesia yang saat ini masih banyak dengan tindakan kekerasan dalam komunitas sekolah seperti perilaku guru terhadap murid, kakak kelas terhadap adik kelas (senior dan junior), dll.
Dampak yang akan muncul dari kekerasan akan melahirkan pesimisme dan apatisme dalam sebuah generasi. Selain itu terjadi proses ketakutan dalam diri anak untuk menciptakan ide-ide yang inovatif dan inventif. Kepincangan psikologis ini dapat dilihat pada gambaran anak-anak sekolah saat ini yang cenderung pasif dan takut berbicara dimuka kelas. Sedangkan dalam keluarga, anak yang sering diberi hukuman fisik akan mengalami gangguan psikologis dan akan berperilaku lebih banyak diam dan selalu menyendiri selain itu terkadang melakukan kekerasan yang sama terhadap teman main atau ke orang lain.

Peran orang tua dan guru
Kurikulum apapun yang mencoba membangun generasi yang proaktif dan optimis tidak akan pernah efektif mencapai tujuannya apabila system hukuman fisik masih diimplementasikan dalam dunia pendidikan sekolah. Untuk itu ada solusi yang akan ditawarkan. Yakni adanya reposisi orang tua dalam mendidik anak dalam keluarga dan guru dalam mendidik murid di sekolah. Reposisi ini berupa perubahan signifikan pada paradigma masyarakat yang masih sering menggunakan hukuman fisik dalam mendidik. Selain itu juga perubahan untuk mulai menempatkan guru ataupun orang tua dalan posisi setara dengan pribadi seorang anak. Dengan membiarkan anak melakukan ekspresi dan melakukan keunikan-keunikannya sendiri maka akan membentuk mental yang bagus dan tidak apatis, keunikan anak disini tidak harus dipahami sebagai suatu kesalahan, melainkan suatu perkembangan anak itu sendiri. Kesadaran anak juga harus dibangun dengan sering mengajak berdialog dan menciptakan komunikasi yang hangat, dan bukan memberikan perintah-perintah dan larangan. Yang terpenting adalah membangun kepribadian untuk sering berpendapat dan mendengarkan pendapat-pendapat mereka. Dan sadarilah masa depan negeri ini ada ditangan anak-anak kita dan oleh karena itu peran orang tua dan guru sangat besar dalam menciptakan kepribadian seorang anak.
Baca Selengkapnya...
Posted by Al-Falah Connection @ 9:13 AM   0 comments
    Negara Sejahtera
Makhrus Habibi
Alumnus MA Al Falah 2001


Di bawah pemerintah yang baik
Rakyat tidak merasa diperintah
Di bawah pemerintah yang kurang baik
Rakyat mendekati dan memujanya
Di bawah pemerintah yang buruk
Rakyat takut dan menghinanya
Siapa yang kurang menaruh kepercayaan
Tidak akan mendapat kepercayaan
Waspadalah dengan kata-katamu yang berharga
Supaya setelah engkau berjasa dan hasilnya nyata, Rakyat akan berkata: kami sendirilah yang membuatnya
(Locu-Kho Ping Ho)

Dalam memandang sesuatu tentu seseorang sangat di pengaruhi oleh pengetahuan dan pengalamannya. Kalaupun yang memandang sesuatu itu adalah seorang petani tentu dia akan memandang dalam perspektif dia sebagai seorang yang selalu bergelut di sawah, ketika yang memandang seorang mahasiswa tentu sangat tergantung dari sebarapa banyak buku yang telah di telannya dan seberapa jauh dia bergelut di dunia mahasiswa, tentu juga sangat beda ketika abang becak memandang sesuatu, yang mungkin tidak lepas dari aktivitas dia di pasar atau di pusat keramaian lainnya. Pada prinsipnya setiap manusia mempunyai cara pandang tersendiri, baik dalam memandang kebaikan maupun dalam memandang keburukan, memandang kebahagiaan dan memandang kesusahan, baik menurut mahasiswa belum tentu baik menurut abang becak, baik menurut buruh pabrik belum tentu baik menurut seorang pengusaha. Semuanya dalam perspektif
Begitu juga ketika cara pandang ini di bawa pada ruang yang lebih luas yang dalam hal ini adalah negara, masing-masing orang tentu beda dalam menafsirkan sebuah negara yang baik (ideal), abang becak akan berbeda dengan mahasiswa dalam memandang sebuah negara yang ideal, begitu juga sangat bebeda cara memandang antara pembeli kakao dan penjual kakao.
petani mungkin akan memaknai sebuah negara yang baik adalah ketika negara itu bisa menyediakan pupuk dengan harga murah, ketika negara bisa membeli gabah dengan harga yang layak, ketika negara bisa memberikan pengairan sawah yang lancar dan ketika-ketika lainnya. Beda juga dengan buruh pabrik misalnya dia juga akan memandang bahwa negara yang baik adalah negara yang bisa menekan perusahaannya untuk memberikan gaji yang layak, negara yang bisa memberikan undang-undang untuk keamanan lingkungan kerja, jaminan kesehatan atau mungkin juga tunjangan masa tua yang memadai. Kebalikannya, bagi seorang pengusaha mungkin negara yang baik adalah negara yang bisa memberikan jaminan keamanan usaha, jaminan keamanan modal stabilitas perekonomian dan jaminan-jaminan lainnya.
Ketika hasil angkut penumpang bisa untuk makan, bisa untuk meyekolahkan anaknya, bisa untuk biaya kesehatan dan sedikit-sedikit menabung, abang becak pasti akan bilang bahwa negara ini sangat baik dan dia tidak akan merasa rugi membayar pajak tiap tahunnya.
Memaknai sebuah negara yang ideal tentu tidak bisa sepihak, karena riil bahwa semua orang berbeda-beda dalam memaknainya. Idealitas sebuah negara tidak hanya dari satu sisi, tetapi banyak sisi dan banyak persepsi, sehingga hal yang lebih penting adalah dari kesekian mimpi-mimpi tentang negara yang ideal di atas bagaimana kemudian bisa terwujud, yang dalam hal ini tentu membutuhkan sekian prasyarat-prasyarat dan perangkat.
Entah siapa yang memulai dan atau apakah akan berakhir, demokrasi sampai saat ini (secara teoritik) menjadi sebuah instrument yang proporsional dalam mewujudkan negara yang ideal, baik ideal meurut petani, ideal menurut abang becak, ideal menurut pengusaha dan ideal menurut buruh pabrik.
Dengan berbagai macam nilai-nilai dasarnya, mekanismenya dan sekian prosedurnya, iklim demokratis menjadi sebuah mimpi kebanyakan orang, asumsi ketika orang dengan bebas menyuarakan aspirasinya tentang negara yang ideal, asumsi ketika semua orang bebas untuk bersuara, pengakuan terhadap hak individu, menjadi ajaran dan menjadi acuan untuk berbangsa dan bernegara akan membawa ke perwujudan sebuah negara yang ideal dalam perspektif mereka-mereka, sang petani bebas bersuara ketika merasa tercekik dengan harga pupuk yang terlalu mahal, sang pedagang bisa berdemo ketika ada relokasi pasar, sang buruh bisa mogok makan ketika tidak mendapatkan tunjangan hari raya, sang mahasiswa bisa menduduki gedung DPR ketika wakil mereka korupsi. Dan semua orang bebas bersuara dalam mewujudkan mimpi-mimpi negara yang ideal.
Dengan adanya penyaluran aspirasi, penyaluran keinginan, penyaluran keluhan-keluhan dan penyaluran lainnya melalui partai politik harapannya mimpi mereka akan bisa terwujud. Dengan menaruh kepercayaan terhadap wakil mereka (baca : DPR/DPD) untuk membawa apa yang menjadi kebutuhan dan apa yang menjadi keinginan, logika dasarnya maka mereka akan sejatera hidupnya.
Ya…!!! Itu teorinya, kata seorang pedagang asongan jurusan Malang-Yogyakarta, lalu prakteknya gimana ??
Ada pemilihan presiden, ada pemilihan wakil rakyat (baca : DPR/DPD), ada pemilihan gubernur, ada pemilihan bupati, ada pemilihan kepala desa bahkan ketua RT/RW sekarang pemilihan dan semuanya secara langsung, yang kesemuanya adalah manifestasi dari demokratisasi, tetapi apakah ada perubahan pada diri kita sendiri. Apakah harga pupuk bisa turun ? apakah harga kakao bisa stabil ? apakah jalan raya lebih baik ? Apakah anak-anak semua sudah bisa sekolah ? apakah biaya orang sakit bisa murah ?. Kalau orang menilai bahwa 1998 adalah tonggak sejarah terbukanya kran demokrasi, apakah tonggak tersebut sudah membawa ke arah yang lebih baik ? apakah hari ini lebih baik dari zaman orde baru ? apakah hari ini lebih baik dari zaman orde lama ? banyak pertanyaan-pertanyaan yang kemudian muncul ketika melihat fakta kondisi masyarakat.
Pertanyaan-pertanyaan di atas kiranya sangat wajar ketika masyarakat sudah memenuhi kewajibannya sebagai warga negara dengan membayar pajak. (bahkan terkadang lebih awal dari bulan yang di tentukan), untuk menanyakan kembali fungsi dan peran negara selama ini, kontribusi negara terhadap kehidupan sehari-hari mereka dan di kemanakannya uang yang mereka bayarkan kepada mereka.
Bukan maksud untuk menggugah masyarakat dari tidur panjangnya, bukan maksud mengajak masyarakat untuk selalu menuntut, bukan maksud mengajak masyarakat untuk membayar pajak, bukan maksud mengajak masyarakat untuk selalu tidak puas atas apa yang diterimanya, tetapi adalah dalam rangka untuk mengembalikan makna dasar peran, posisi dan fungsi negara (baca : lembaga-lembaga negara).
Bahwa pemerintah adalah pelayan masyarakat, bahwa keberadaan jabatan mereka adalah titipan dari masyarakat, bahwa kursi empuk yang mereka duduki adalah hasil dari sekian penjumlahan suara-suara rakyat di tempat pemungutan suara (TPS) bahwa keberadaan mereka saat ini adalah karena kepercayaan masyarakat terhadap mereka dalam menyelesaikan sekian masalah masyarakat, dan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, yang bisa menentukan apakah mereka tepat atau tidak untuk duduk sebagai wakil rakyat.
Dalam mewujukan sebuah negara yang ideal, yang dalam konteks hari ini dengan menggunakan instrumen demokrasi tentu harus di topang oleh faktor-faktor lain, selain prosedur, mekanisme dan tatanan lembaga-lembaga demokrasi.
Fakta bahwa kedewasaan masyarakat dalam berpolitik dan kecerdasan rakyat dalam menyalurkan aspirasi politiknya masih belum mampu merubah kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro dengan rakyat. Wacana-wacana kemiskinan, pendidikan gratis, kesehatan murah, dan seputar isu-isu kerakyatan ternyata masih sebatas menjadi lagu nina bobok-nina bobok untuk rakyat, masih menjadi janji-janji politik para politisi, yang kemudian hanya berhenti di tingkatan wacana (itupun di tingkatan elit)
Dengan kata lain bahwa kedewasaan masyarakat dalam berpolitik kecerdasan masyarakat dalam menyampaikan aspirasi politiknya ternyata masih belum bisa merubah kebijakan di tingkatan pemerintah, belajar dari Kabupaten Jembrana-Bali, bahwa keinginan baik pemerintah (political will) juga menjadi faktor kunci dalam mewujudkan kesejateraan rakyat. Dengan angggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang minim, pemerintah Jembrana bisa menggratiskan siswa-siswanya untuk sekolah, bisa memberikan kesehatan murah, bisa mengasuransikan penduduknya dan bisa memberikan pelayanan yang cepat.
Al hasil bahwa untuk menciptakan masyarakat yang sejatera, tidak hanya kedewasaan masyarakat yang di butuhkan tetapi juga harus didukung oleh kemauan baik dari pemerintah yang dalam hal ini tentu adalah pemimpinnya, (baca : Presiden/Gubernur/Bupati). bahwa sekolah tidak mungkin gratis, bahwa kesehatan tidak bisa murah, mustahil semua penduduk bisa di asuransikan, jargon ketika bisa di persulit kenapa di permudah tidak mungkin di rubah di tingkatan birokrasi hanyalah pembicaraan orang-orang (baca : pemimpin) yang tidak punya kemauan baik dan niatan baik untuk rakyat.



Baca Selengkapnya...
Posted by Al-Falah Connection @ 9:08 AM   0 comments
   WebBlog Anggota
~ Rahmat Hidayat
~ Makhrus Habibi
~ M. Zainal Abidin
~ Ramlah [New]
   Info Selanjutnya

Kirim e-mail kepada kami di :
alfalahsmallville@yahoo.com


Silakan hubungi :
Makhrus (085259534505) atau
Ramlah (085255750150)


Blog baru Kami ada di Sini

   Powered by

Free Blogger Templates

BLOGGER

Untuk mendapatkan tampilan terbaik, gunakan Resolusi Layar 1024 x 768
© Al-Falah Connection HomePage. 2007-2008. Maintenance by Abidin (Alumni MA 2003)
All Right Reserved. Template by Isnaini Dot Com