Tentang Kami |
|
Arsip Tulisan |
|
|
Pemanasan Global ”Tragedi Peradaban |
Wednesday, November 28, 2007 |
(Refleksi Konferensi Perubahan Iklim /COP-13 di Bali, 3-14 Desember 2007)
Oleh : Makhrus Habibi
Konferensi Perubahan Iklim bulan Desember di Bali salah satu agendanya adalah Pengurangan emisi dari deforestasi, Pemanasan global yang berakibat pada perubahan iklim (Climate Change) belum menjadi mengedepan dalam kesadaran multi pihak. Pemanasan global (Global Warming) telah menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia, terutama negara yang mengalami industrialisasi dan pola konsumsi tinggi (gaya hidup konsumtif). Tidak banyak memang yang memahami dan concern pada isu perubahan iklim. Sebab banyak yang mengatakan, memang dampak lingkungan itu biasanya terjadi secara akumulatif. Pada titik inilah masalah lingkungan sering dianggap tidak penting oleh banyak kalangan, utamanya penerima mandat kekuasaan dalam membuat kebijakan.
Perubahan iklim akibat pemanasan global (global warming), pemicu utamanya adalah meningkatnya emisi karbon, akibat penggunaan enerji fosil (bahan bakar minyak, batubara dan sejenisnya, yang tidak dapat diperbarui). Penghasil terbesarnya adalah negeri-negeri industri seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Canada, Jepang, China, dll. Ini diakibatkan oleh pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat negera-negar utara yang 10 kali lipat lebih tinggi dari penduduk negara selatan. Untuk negara-negara berkembang meski tidak besar, ikut juga berkontribusi dengan skenario pembangunan yang mengacu pada pertumbuhan. Memacu industrilisme dan meningkatnya pola konsumsi tentunya, meski tak setinggi negara utara. Industri penghasil karbon terbesar di negeri berkembang seperti Indonesia adalah perusahaan tambang (migas, batubara dan yang terutama berbahan baku fosil). Selain kerusakan hutan Indonesia yang tahun ini tercatat pada rekor dunia ”guinnes record of book” sebagai negara tercepat yang rusak hutannya. Menurut temuan Intergovermental Panel and Climate Change (IPCC). Sebuah lembaga panel internasional yang beranggotakan lebih dari 100 negara di seluruh dunia. Sebuah lembaga dibawah PBB, tetapi kuasanya melebihi PBB. Menyatakan pada tahun 2005 terjadi peningkatan suhu di dunia 0,6-0,70 sedangkan di Asia lebih tinggi, yaitu 10. selanjutnya adalah ketersediaan air di negeri-negeri tropis berkurang 10-30 persen dan melelehnya Gleser (gunung Es) di Himalaya dan Kutub Selatan. Secara general yang juga dirasakan oleh seluruh dunia saat ini adalah makin panjangnya musim panas dan makin pendeknya musim hujan, selain itu makin maraknya badai dan banjir di kota-kota besar (el nino) di seluruh dunia. Serta meningkatnya cuaca secara ekstrem, yang tentunya sangat dirasakan di negara-negara tropis. Jika ini kita kaitkan dengan wilayah Indonesia tentu sangat terasa, begitu juga dengan kota-kota yang dulunya dikenal sejuk dan dingin makin hari makin panas saja. Contohnya di Jawa Timur bisa kita rasakan adalah Kota Malang, Kota Batu, Kawasan Prigen Pasuruan di Lereng Gunung Welirang dan sekitarnya, juga kawasan kaki gunung Semeru. Atau kota-kota lain seperti Bogor Jawa Barat, Ruteng Nusa Tenggara, adalah daerah yang dulunya dikenal dingin tetapi sekarang tidak lagi.
Meningkatnya suhu ini, ternyata telah menimbulkan makin banyaknya wabah penyakit endemik “lama dan baru” yang merata dan terus bermunculan; seperti leptospirosis, demam berdarah, diare, malaria. Padahal penyakit-penyakit seperti malaria, demam berdarah dan diare adalah penyakit lama yang seharusnya sudah lewat dan mampu ditangani dan kini telah mengakibatkan ribuan orang terinfeksi dan meninggal. Selain ancaman ratusan Desa di pesisir Jatim yang bisa tenggelam akibat naiknya permukaan air laut, indikatornya serasa makin dekat saja jika kita tengok naiknya gelombang pasang di minggu ketiga bulan mei 2007 kemarin. Mulai dari pantai Kenjeran, pantai popoh Tulungagung, Ngeliyep Malang dan pantai lain di pulau-pulau Indonesia.
Untuk negara-negara lain meningkatnya permukaan air laut bisa dilihat dengan makin tingginya ombak di pantai-pantai Asia dan Afrika. Apalagi hal itu di tambah dengan melelehnya gleser di gunung Himalaya Tibet dan di kutub utara. Di sinyalir oleh IPCC hal ini berkontribusi langsung meningkatkan permukaan air laut setinggi 4-6 meter. Dan jika benar-benar meleleh semuanya maka akan meningkatkan permukaan air laut setinggi 7 M pada tahun 2012. Dan pada 30 tahun kedepan tentu ini bisa mengancam kehidupan pesisir dan kelangkaan pangan yang luar biasa, akibat berubahnya iklim yang sudah bisa kita rasakan sekarang dengan musim hujan yang makin pendek sementara kemarau semakin panjang. Hingga gagal panen selain soal hama, tetapi akibat kekuarangan air di tanaman para ibu-bapak petani banyak yang gagal.
Situasi ini tentu saja tidak hanya akan dirasakan oleh dunia, tetapi bisa juga terjadi dan akan sangat mengancam Indonesia. Sebab dengan meningkatnya permukaan air laut, desa-desa pesisir Indonesia tentu akan langsung merasakan dampaknya. Mulai dengan makin panjangnya jeda untuk tidak melaut bagi nelayan, saat angin barat. Yang tentunya ini akan berimplikasi langsung pada ekonomi keluarga mereka, maupun mengancam tenggelamnya lebih dari 4000 Desa-desa pesisir Indonesia. Apalagi Indonesia sebagai negara kepulauan, tentu akan sangat dirugikan dengan ancaman tenggelamnya pulau-pulaunya, terutama pulau-pulau kecil yang ratusan jumlahnya.
The Day After Tomorrow. Sebuah film yang menggambarkan tenggelamnya kota-kota besar di pesisir yang di sertai dengan runtuhnya patung Liberty di Kota New York AS pada tahun 2020. Tentunya situasi yang kita hadapi saat ini bukan lagi manifest film tersebut, tetapi ini kenyataan yang kita hadapi saat ini Lantas jika demikian. Sebenarnya apa yang di butuhkan oleh dunia kecil “lokal” dan kita sebagai individu penghuni planet bumi? adalah revolusi gaya hidup, sebab dengan demikian akan mengurangi penggunaan energi baik listrik, bahan bakar, air yang memang menjadi sumber utama makin berkurangnya sumber kehidupan.
Selain itu perlunya melahirkan konsesus yang membawa komitmen dari semua negara untuk menegakkan keadilan iklim. Seperti yang sudah dilakukan oleh Australia yang mempunyai instrumen keadilan iklim, melalui penegakan keadilan iklim dengan membentuk pengadilan iklim (Climate Justice). Dimana sebuah instrumen yang mengacu pada isi protokol kyoto yang menekankan pada kewajiban pada negara-negara utara untuk membayar dari hasil pembuangan emisi karbon mereka untuk perbaikan mutu lingkungan hidup bagi negara-negara selatan.
Dalam praktek yang lain saatnya kita mulai menggunakan energi bahan bakar alternatif yang tidak hanya dari bahan energi fosil, misalnya untuk kebutuhan memasak. Menggunakan energi biogas (gas dari kotoran ternak) seperti yang dilakukan komunitas merah putih di Kota Batu. Desentraliasasi energi memang harus dilakukan agar menghantarkan kita pada kedaulatan energi dan melepas ketergantungan pada sentralisasi energi yang pada akhirnya harganya pun makin mahal saja.
Sedangkan untuk para pengambil kebijakan harusnya mengeluarkan policy yang jelas orientasinya untuk mengurangi pemanasan global. Misalnya menetapkan jeda tebang hutan di seluruh Indonesia agar tidak mengalami kepunahan dan wilayah kita makin panas. Menghentikan pertambangan mineral dan batubara seperti di Papua, Kalimantan, Sulawesi, hal ini bisa dilakukan dengan bertahap mulai dari meninjau ulang kontrak karyanya terlebih dahulu. Selanjutnya kebijakan progressive dengan mempraktekkan secara nyata jeda tebang dan kedaulatan energi harus dilakukan jika kita tidak mau menjadi kontributor utama pemanasan global.
Di tingkatan pemuka agama, bagaiman kemudian bisa menafsirkan teologi-teologi yang ramah lingkungan
Iklim memang mengisi ruang hidup kita baik secara individu maupun sosial, maka tidak mungkin menegakkan keadilan iklim tanpa melibatkan kesadaran dan komitmen semua pihak. Bahwa tidak bisa dibantah, kita hidup dalam ekosistem dunia “perahu” yang sama, sehingga jika ada bagian yang bocor dan tidak seimbang, sebenarya ini merupakan ancaman bagi seluruh isi perahu dan penumpangnya. Maka merevolusi gaya hidup kita untuk tidak makin konsumtif sangat mendasar dilakukan sekarang juga oleh seluruh umat manusia. Sebab dengan begitu kita bisa menempatkan apa yang kita butuhkan bisa ditunda tidak, yang harus kita beli membawa manfaat atau tidak dan apakah yang kita beli bisa digantikan oleh barang yang lain yang ramah lingkungan? Selamat hari lingkungan hidup sedunia. Mari bertindak nyata untuk masa depan bersama.
|
Posted by Al-Falah Connection @ 8:21 PM |
|
|
|
|