14 Juli 2007 Makhrus Habibi Tulisan ini berangkat dari kegaduhan penulis dan sekaligus catatan kaki dari proses dan prosesi menjadi mahasiswa sekaligus aktiv di dunia pergerakan yang sampai saat ini masih menjalani proses tersebut. Berangkat dari berbagai reflkesi konsolidasi selama aktiv di organ intra kampus yang bertepatan dengan momentum penguatan konsolidasi BEM Nusantara yang berawal dari Tulungagung Jawa Timur, kemudian di Malang, Surabaya, Bandung, Salatiga, Jogja, Riau, Bali dan terakhir di Jakarta, ada sebuah catatan kecil tentang keberadaan gerakan mahasiswa saat ini. Mengawali dengan logika dasar organisasi mahasiswa bahwa keberadaan sebuah organisasi kemahasiswaan baik intra maupun ekstra adalah sebagai ruang ekspresi mahasiswa baik dari pada wilayah bakat, minat maupun operasionalisasi wacana, berbagai macam corak tentang sistem kenegaraan mahasiswa menjadi sebuah eksperimentai gagasan-gagasan idealitas ala mahasiswa, dari konsep senat mahasiswa, Republik Mahasiswa, keluarga besar mahasiswa sampai pada sistem federasi ala mahasiswa, menjadi sebuah dialektika proses pencarian tata negara dalam tahap percobaan yaitu di kampus. Keberadaan organisasi intra kampus tidak lebih sebagai ruang dialektika dan proses mahasiswa, keberadaan organisasi ekstra kampus tidak lebih karena ada kesamaan baik tujuan, emosional maupun gerakan. Gerakan-gerakan jalanan, transformasi gagasan, pendampingan tidak terlepas dari aktivitas mahasiswa, atas nama rakyat, atas nama keadilan, atas nama kebenaran, atas nama bangsa dan atas nama-nama lainnya selalu menjadi bahan orasi di jalanan dan di kertas-kertas yang sering mereka namankan alat perjuangan. Itu adalah masa lalu, itu adalah kenangan yang selalu menjadi sejarah untuk mengingatkan generasi selanjutnya, hanya sebatas di kenang bahwa itu bagus untuk di kenang atau memang dalam rangka untuk selalu menjaga spirit gerakan mahasiswa, terserah dari mahasiswa sendiri, itulah jawaban yang pragmatis dan praktis. Menjadi egent of change atau problem of change, kawan yunan nawawi selalu menanyakan pertanyaan tersebut. Apakah saya yang bodoh dalam menyikapi realitas, gaya pemikiran yang tidak berpijak pada realitas, atau memang mereka yang ternyata kucing garong, tidak lebih sebagai penguasa-penguasa kecil yang suka omong kosong, bohong di sana dan bohong disini. Tong-tong kosong.... Nasionalisasi asset sebagai gagasan awal yang selalu di usung pada tiap pertemuan BEM Nusantara, menjadi sebuah hal yang sangat berat di perjuangkan di Jakarta, kenyataan berbicara lain, kawan-kawan lebih asyik menghadiri undangan dari presiden ketimbang berdemonstrasi di jalan yang panas, kawan-kawan bebas tertawa dan terbahak-bahak karena berfoto ria dengan mereka-mereka dari pada berteriak atas nama rakyat. Ada yang beralasan bahwa inilah Jakarta, ada yang beralasan bahwa nanti tidak bisa pulang, ada yang beralasan bahwa inilah politik dan ada yang masih komitmen menjaga konsistensi gerakan dan banyak pula yang diam seribu bahasa. Kenapa??? Keadaan telah memaksa sekian orang, sekian mahasiswa, sekian remaja untuk tidak hanya mencukupi kebutuhannya tetapi juga mencukupi segala keinginannya, dengan kata lain KEMAKAN IKLAN. Design global tidak hanya pada wilayah pertarung ekonomi bahwa mereka menguasai saham-saham perusahaan besar, tetapi juga menguasai lembaga pendidikan yang kemudian memunculkan BHMN, menguasai kultur masyarakat yang kemudian membawa mainstream gaya hidup yang instan, menguasai pengetahuan yang kemudian mucul standarisasi ilmiah, menguasai negara yang kemudian memunculkan UU otonomi daerah, menguasai personal yang kemudian muncul egoisme, menguasai budaya yang kemudian muncul budaya pop dan menguasai-menguasai lainnya. Orang bilang itulah fakta bumi di mana kita berpijak, tidak pernah ada dalam kamus global kata-kata bergerak tetapi harus di gerakkan. Secepat apa dan sejauh mana kita bergerak ternyata tetap by design global. Pertanyaan yang sederhana kemudian muncul adalah kita harus ngapain hoi......??? Selanjutnya saya tidak akan menyelesaikan tulisan ini, saya buat sedemikian mbulet supaya orang yang membacanya jadi orang ruwet, dan berangkat dari hal yang ruwet itulah maka harapan saya kita akan berani. Berani bergerak, berani menjual gagasan, berani bertarung dan berani berargumentasi untuk menjadi manusia yang merdeka, sebelum bangunlah raganya lagu Indonesia Raya mendahuluinya dengan bangunlah JIWANYA.
|