14 Juli 2007 Makhrus Habibi Bagi anak-anak sekolah, hal yang paling menyenangkan adalah ketika lulus dalam ujian. Karena kelulusan sekolah telah dicitrakan sedemikian rupa untuk menunjukkan tingkat kecerdasan dan keberhasilan dalam dunia pendidikan di tanah air. Ukuran dari keberhasilan sebuah lembaga pendidikan adalah seberapa tinggi mereka mencapai nilai ujian (UAN), seberapa persen mereka mencapai angka kelulusan, sehingga peristiwa 8 (delapan) murid MA Al falah yang tidak lulus pasti di anggap fatal oleh lembaga. Pada perspektif ilmu manajemen dalam kerangka untuk membangun image (branding) mungkin bisa di katakan ia, karena hal ini mencerminkan ada beberapa hal yang salah dalam pengelolaannya, baik pada tingkatan manejerial sebuah lembaga maupun manajerial dalam memproses anak didik. Tetapi dalam perspektif idealitas pendidikan tentu memunculkan tanda tanya besar ??Benarkah? Ada yang mengekspresikan kegembiraan karena kelulusan meraka dengan coret-coret di baju mereka, konvoi, pesta sex, aktivitas sosial, ada yang berjalan kaki pulang ke kampung halaman, bahkan ada yang sampai bernadzar puasa 7 hari dan masih banyak lainnya aktivitas untuk mengekspresikan kegembiraan tersebut. Sedangkan pada sisi lain, Bagaimana dengan anak sekolah yang tidak lulus? Ada jutaan anak SMP dan SMA tidak lulus dan harus mengulang lewat ujian susulan. Andaikata itu terjadi pada diri kita, sebuah standarisai pendidikan yang sampai tahun ini masih terus di gugat, masih terus mengorbankan masa depan berjuta-juta anak pada tiap tahunnya, berjalan lancar bebas hambatan. Ada yang menyikapinya dengan demonstrasi, ada yang menyikapinya dengan keterpaksaan dan tidak sedikit juga yang menyikapinya dengan membimbing jawaban kepada peserta ujian yang dalam kasus ini ada sebuah kesepakatan bersama, barangsiapa yang melaporkan akan di keluarkan dari sekolah atau di alih tugaskan (kasus gerakan Air Mata Ibu. Medan) Ini memang sudah di set sedemikian rupa oleh negara, itulah asumsi penulis, Kalaupun mereka bodoh atau pintar? Siapa yang berani menjamin kebodahan dan kecerdasan mereka? Karena bodoh dan cedas bukan ujian nasional ukurannya. Kenyataan dari sistem pendidikan kita telah mengabaikan kecerdasan-kecerdasan lain pada diri siswa, ada kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, sosial dan lain sebagainya, sehingga sangat wajar ketika mainstream yang dibawa ini akan membawa sistem evaluasi yang positivis (matematik) karena diantaranya dengan melalui UAN. Landasan filosofisnya saja sudah salah apalagi sistem evaluasinya. Apa sesungguhnya hakikat sekolah itu? Kenapa banyak orang yang gila dan tergila-gila atau bahkan di buat gila? Gila karena terbuai idealisme sekolah, kucuran dana sekolah oleh negara, dan lain sebagainya. Apakah kita berkesimpulan bahwa sekolahan itu satu-satunya pintu menuju dunia realis/nyata yang terhampar di Indonesia? Apa sebenarnya dunia pendidikan dan sekolah itu? Dalam benak kolektif-kesadaran kita bersama, teronggok disana secara angkuh bahwa sekolah adalah satu-satunya tempat atau tempat berproses untuk memperoleh pengetahuan dan satu-satunya jalan menuju dunia nyata. Untuk dapat memperoleh uang, memperoleh status, memperoleh kerja ini-itu dan lain-lain. Demikiankah sekolah itu? Apakah dengan tidak disekolah tertutup akal, hati dan kesadaran kita bahwa sesungguhnya ada banyak tempat yang kita disana dapat memperoleh yang namanya ilmu dan pengetahuan sebagai bekal untuk lebih mengenal dari dekat dan sedekat-dekatnya kenyataan keseharian keindonesiaan. Kenyataan ekonomi, politik, budaya, seni, dan hiruk-pikuk susah senangnya hidup di Indonesia.Tapi bagaimanapun juga pendidikan sudah kadung menjadi kenyataan tersendiri yang saling kait mengait dengan kenyataan-kenyataan sosial lainnya yang menjadi penopang kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun pendidikan atau sekolah yang bertipe bagaimanakah yang benar-benar dapat bukan sekedar dapat memberikan nilai guna, namun lebih dari itu sekolah adalah ruang untuk mencipta dan memproses terbentuknya karakter dan budaya bagi keberlangsungan perkembangan dan ketahanan mental, spiritual, akal budi, skil, dan daya semangat hidup anak-anak muda lulusan sekolahan itu? Setidaknya melalui tulisan ini kita berefleksi kembali pada diri masing-masing, dalam menjawab pertanyaan sederhana di atas untuk apa kita kuliah dan dan apakah kuliah hanya satu-satunya jalan untuk menitih masa depan? Kita mencoba kemblai menggugah kesadaran-kesadaran diri tentang hakikat lembaga pendidikan...
|